Selasa, 07 Januari 2014

KI SLAMET GUNDONO | Dengan Seni Ia Perjuangkan Agama Islam

Kumpulan Cerita Islam (KCI) : KI SLAMET GUNDONO | Dengan Seni Ia Perjuangkan Agama Islam.

KI SLAMET GUNDONO, DALANG SUFI YANG MABUK KEPADA ALLAH

Pertama kali menginjak rumah duka, sudah kagum karena begitu sederhana sebagaimana layaknya si almarhum yang suka berpenampilan sederhana. Di teras rumahnya itulah berdiri sebuah warung yang digunakan untuk mendongeng yang di depannya ada sebuah tanah lapang berukuran kecil yang digunakan untuk tempat duduk penonton.

Di rumahnya ini memang sekaligus dijadikan tempat untuk ndongeng wayang suket dan tempat perpustakaan buku, kebanyakan memang untuk media hiburan anak-anak utamanya anak-anak SLB, karena memang beliau juga bekerja sama dengan SDLB Slawi memberikan kisah wayang suket kepada mereka dengan cuma-cuma.

Peti jenazah ditempatkan di depan rumah, karena memang pintu rumah tak muat, mengingat ukuran peti yang begitu besar, tempat jenazah disemayamkan. Terlihat sang istri dan kedua anaknya yang masih kecil duduk di sampingnya, beliau menangis, sementara kedua anaknya yang masih polos, Mungkin mengira sang ayah sedang tidur.

Terlihat pula banyak seniman dari dalam dan luar kota yang hadir di tempat itu, salah satunya yang saya temui dan salami adalah Pak Timur Sinar Suprabana, sang penyair yang datang langsung dari Semarang atas saran dari Simbah Kakung (Gus Mus).

Kedatangan Bupati Tegal terpilih Ki Enthus Susmono yang juga merupakan sahabat karib beliau dalam dunia perwayangan memberikan arti yang sangat mendalam bagi para pentakziah. Dalam konferensi pers dan sambutannya yang juga diliput oleh beberapa TV Lokal dan Nasional, beliau banyak menceritakan tentang siapa Ki Slamet Gundono itu. 

Mungkin sedikit yang saya ingat dari sambutan itu untuk bisa dibagikan. Beliau nama sebenarnya adalah Gundono, dan nama Slamet yang ada padanya itu adalah hadiah dari Maestro Dalang Jawa Tengah Ki Gondo, yang sekaligus idolanya karena senang dan sayang dengan Ki Gundono. Kalau saja rekor MURI mencatat maka Ki Gundono inilah yang layak mendapat penghargaan karena paling banyak menciptakan jenis jenis wayang. mulai dari wayang layar panjang, wayang nggremeng, wayang air, wayang tanah, wayang nglindur, wayang kondom, dan yang paling terkenal yaitu wayang suket.

Tahun 90-an Ki Slamet Gundono dan Ki Enthus bersama 2 dalang lain, Ki Parman (Tegal) dan Sudjiwo Tedjo (Presiden Jancukers) membuat sebuah komunitas jaringan kebangsaan, sebagai wadah para dalang. Pendirian komunitas ini atas dasar pada jaman itu semakin melorotnya budaya perhelatan wayang yang mulai banyak ditinggalkan. (Maka saya jadi paham, mengapa beliau berempat banyak melenceng dari mainstream dalang tradisional, menampilkan unsur unsur modern dan nyeni dalam kisah perwayangannya).

Kemudian Ki Enthus menjelaskan betapa karibnya mereka berdua. Jika ingin pentas wayang saling berdiskusi dan bertukar inspirasi kisah perwayangan kontemporer. Suatu ketika Ki Slamet Gundono bertanya pada beliau: “Pak Enthus sebenarnya mabuk kepada Allah itu hukumnya apa?”

“Dalam Islam ada sebuah kitab (saya lupa judulnya) bahwa mabuk dan gila kepada Allah itu wajib.” Jawabnya

Maka muncullah sebuah syair mistik sufistik gubahan Ki Slamet Gundono yang berjudul “Mabuk Gusti” yang indah itu.

Kedekatan itu juga dijelaskan kembali, sebagaimana kala itu Ki Enthus berjanji jikalau ia menang dalam Pilbup maka ia akan menanggap Wayang Suket untuk digelar dalam syukuran pelantikannya. Namun takdir berkata lain, Rabu ini beliau dilantik sedang Ki Slamet sudah mendahului tilar dunyo.

Sebagai rasa penghargaan pada karibnya ini yang telah turut pula membanggakan Kabupaten Tegal dengan segenap prestasinya hingga mancanegara, Ki Enthus berjanji akan berembug dengan DPRD Kabupaten Tegal untuk menganugerahkan tanda Pahlawan Kesenian kepada Ki Slamet Gundono, mendokumentasikan karya-karya wayang beliau di museum wayang miliknya dan menanggung kebutuhan anak yatimnya dengan hasil bayaran pentas dalang yang ia lakukan.

Sementara itu juga terlihat salah satu wayang suket karya Ki Slamet Gundono sendiri yang diletakkan di atas peti jenazah. Menurutnya bahwa itu atas saran dari Ki Manteb Sudarsono agar tutur dikuburkan bersama jenazah, bukan sebagai apa-apa, tetapi hanya sebagai “kemul” saja sebagai wujud ia dan wayang adalah satu Cinta karena Allah SWT.

Dalam akhir sambutannya Ki Enthus berkata: “Ki Slamet, insya Allah kamu masuk surge. Karena suket (rumput) itu tidak tumbuh di neraka panas itu, yang ada hanyalah di surga, ia tumbuh subur di sana. Jika bertemu dengan Rasulullah sampaikan salam kami kepada beliau.”

Pukul 10.30 jenazah beliau dishalatkan dan dibawa ke pemakaman, alhamdulillah meskipun tak sempat mengenal dan bertemu beliau saya bisa ikut menshalatkan dan mengangkat peti jenazah beliau.

Di Pemakaman, ada hal yang membuat saya tersenyum, kala tanah dilungsurkan kembali ke makam, ibu-ibu di pinggir saya sedikit berbincang: “Tanahnya bagus ya, tidak ada batunya sama sekali,” katanya

Salah satu ibu yang lain menjawab: “Iya benar, tanahnya bagus, orangnya juga memang bagus (baik), jadi pemakamannya menjadi mudah dan cepat tanpa halangan.”

Akhirnya hanya ini yang bisa tersampaikan, semoga segala amal ibadah beliau diterima di sisi Allah, diampuni segala dosanya. Dan lagi-lagi saya memang mendapat pelajaran: “Sebagaimana kebanyakan orang, Kau baru menyadari betapa berartinya seseorang dalam kehidupan ini, ketika ia telah tiada.”

Selamat Jalan Ki Slamet Gundono, Tawa dan Candamu selalu menjadi pelipur lara bagi jiwa yang kerap luka.

(Oleh: Ustadz Rizki Adi Prianto, Ujungrusi Tegal 06 Januari 2014).

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 07 Januari 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 ilmu tentang islam.