Kamis, 29 Mei 2014

SOSOK MUALLAF "PIORE VOGEL" YANG MENDAPATKAN JULUKAN SANG BRILIAN

Kumpulan Cerita Islam (KCI) : SOSOK MUALLAF "PIORE VOGEL" YANG MENDAPATKAN JULUKAN SANG BRILIAN

Kaum Mulimin dan muslimat dimanapun kita berada, baiknya kita selalu berbaik sangka kepada mereka yang suka mengolok-olok agama yang Alloh perintahkan dan ridhoi karena ketika Alloh berkehendak mereka akan mendapat taufiq dan hidayah sehingga banyak dari mereka berbalik menjadi Muslim seperti  "PIORE VOGEL".
2011 lalu, ketika Piore vogel sang mantan kristiani dan sosok anti islam, berdiri di atas mimbar dan memberikan presentasi Diinul islam di hadapan rakyat jerman yang kebanyakan menganut kristiani juga komunis, 

Hingga ada seorang yang teriak "ISLAM? ajaran teroris apakah masih laku!?"

Vogel pun dengan senyum dan memanggil seorang itu untuk naik ke atas mimbar, lalu dihadapan ribuan audien di tahun 2011 vogel berkata kepada dirinya dan ribuan audien,

1. Perang Dunia Pertama 17 juta mati
(Disebabkan oleh non-Muslim)

2. Perang Dunia Kedua 50-55000000 mati
(Disebabkan oleh non-Muslim)

3. Nagasaki bom atom 200.000 mati
(Disebabkan oleh non-Muslim)

4. Perang di Vietnam lebih dari 5 juta orang mati
(Disebabkan oleh non-Muslim)

5. Perang di Bosnia / Kosovo lebih dari 500.000 tewas
(Disebabkan oleh non-Muslim)

6. Perang di Irak (sejauh ini) 1.200.000 deads
(Disebabkan non-Muslim)

7. Afghanistan, Burma dll
(Disebabkan oleh non-Muslim)

Anda masih berpikir ISLAM adalah Masalah, apakah Islam Teroris?!

Silahkan Jawab? Seharusnya kalian berfikir, kenapa islam difitnah, berarti ada sesuatu yang tersimpan didalamnya, kalian bisa menciptakan produk terbaik untuk dunia ini apakah kalian tidak bisa memaksimalkan akal kalian untuk mencari kebenaran tersebut!, 

Jangan katakan nanti anda berfikir bila kalian bisa membuat sesuatu saat ini, namun saat ini juga silahkan anda fikirkan!!!

Lalu vogel mengutip sedikit ayat al quran dan hadits nabi

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Jangan menimbulkan kerusakan di muka bumi," Mereka berkata, "Mengapa, kami hanya Ingin membuat perdamaian"
[Al Qur'an 02:11]

Rasul Allah (saw) mengatakan,
"Siapa pun yang mengarahkan seseorang untuk baik, maka dia akan memiliki pahala sama dengan pelaku tindakan."
[Sahih Muslim]

Dan subhanallah, saat itu ratusan kristiani naik ke panggung dan mengikrarkan syahadat, dan di hari ke dua di ikuti serupa, ratusan kristiani dan komunis mengikrarkan syahadat, dan ada yang menarik sosok pimpinan yahudi jerman ikut mengikrarkan syahadat dan kini berjuang bersama dengan piore vogel untuk mengabarkan kebenaran islam,

Video terkait, Please Check This Out
Sumber : https://www.facebook.com/pages/Voice-Of-Muallaf/625726364162819

Senin, 26 Mei 2014

Riset Psikologi, Keajaiban Menghafal AL QUR'AN, Mencegah Berbagai Penyakit

Kumpulan Cerita Islam (KCI) : Riset Psikologi, Keajaiban Menghafal AL QUR'AN, Mencegah Berbagai Penyakit

Sebuah kajian baru membuktikan bahwa semakin banyak hafalan seseorang terhadap Al-Qur’an Al-Karim, maka semakin baik pula kesehatan. Dr. Shalih bin Ibrahim Ash-Shani’, guru besar psikologi di Universitas Al-Imam bin Saud Al-Islamiyyah, Riyadh, meneliti dua kelompok responden, yaitu mahasiswa/i Universitas King Abdul Abdul Aziz yang jumlahnya 170 responden, dan kelompok mahasis Al-Imam Asy-Syathibi yang juga berjumlah 170 responden.

Peneliti mendefinisikan kesehatan psikologis sebagai kondisi dimana terjadi keselarasan psikis individu dari tiga faktor utama: agama, spiritual, sosiologis, dan jasmani. Untuk mengukurnya, peneliti menggunakan parameter kesehatan psikis –nya Sulaiman Duwairiat, yang terdiri dari 60 unit.

Penelitian ini menemukan adanya korelasi positif antara peningkatan kadar hafalan dengan tingkat kesehatan psikis, dan mahasiswa yang unggul di bidang hafalan Al-Qur’an itu memiliki tingkat kesehatan psikis dengan perbedaan yang sangat jelas.

Ada lebih dari tujuh puluh kajian, baik Islam atau asing, yang seluruhnya menegaskan urgensi agama dalam meningkatkan kesehatan psikis seseorang, kematangan dan ketenangannya. Sebagaimana berbagai penelitian di Arab Saudi sampai pada hasil yang menegaskan peran Al-Qur’an Al-Karim dalam meningkatkan ketrampilan dasar siswa-siswa sekolah dasar, dan pengaruh yang positif dari hafalan Al-Qur’an untuk mencapai IP yang tinggi bagi mahasiswa.

Kajian tersebut memberi gambaran yang jelas tentang hubungan antara keberagamaan dengan berbagai bentuknya, terutama menghafal Al-Qur’an Al-Karim, dan pengaruh-pengaruhnya terhadap kesehatan psikisi individu dan kepribadiannya, dibanding dengan individu-individu yang tidak disiplin dengan ajaran-ajaran agama, atau tidak menghafal Al-Qur’an, sedikit atau seluruhnya.

Komentar terhadap Kajian:
Setiap orang yang menghafal sebagian dari Al-Qur’an dan mendengar bacaan Al-Qur’an secara kontinu itu pasti merasakan perubahan yang besar dalam hidupnya. Hafalan Al-Qur’an juga berpengaruh pada kesehatan fisiknya. Melalui pengalaman dan pengamatan, dipastikan bahwa hafalan Al-Qur’an itu dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada seseorang, dan membantunya terjaga dari berbagai penyakit.

Berikut ini adalah manfaat-manfaat hafalan Al-Qur’an, seperti yang penulis dan orang lain rasakan:
1. Pikiran yang jernih.
2. Kekuatan memori.
3. Ketenangan dan stabilitas psikologis.
4. Senang dan bahagia.
5. Terbebas dari takut, sedih dan cemas.
6. Mampu berbicara di depan publik.
7. Mampu membangun hubungan sosial yang lebih baik dan memperoleh kepercayaan dari orang lain.
8. Terbebas dari penyakit akut.
9. Dapat meningkatkan IQ.
10. Memiliki kekuatan dan ketenangan psikilogis.

Karena itu Allah berfirman, “Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang lalim.” (QS Al-‘Ankabut [29]: 49)

Ini adalah sebagian dari manfaat keduniaan. Ada manfaat-manfaat yang jauh lebih besar di akhirat, yaitu kebahagiaan saat berjumpa dengan Allah, memperoleh ridha dan nikmat yang abadi, mendapatkan tempat di dekat kekasih mulia Muhammad Saw.


(Oleh Abduldaem Al-Kaheel)
Sumber :http://www.pusatalquran.com/

Jumat, 02 Mei 2014

Sutrah | Pembatas dalam sholat agar tidak dilewati saat sholat

Kumpulan Cerita Islam (KCI) : Sutrah | Pembatas dalam sholat agar tidak dilewati saat sholat

Shalat Dengan Menggunakan Sutrah

Tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa lewat di depan sutrah hukumnya tidak mengapa dan lewat di tengah-tengah antara orang yang shalat dengan sutrahnya hukumnya tidak boleh dan orang yang melakukannya berdosa (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/184). Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505)

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:


لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

“Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).

Dengan demikian kita tidak boleh lewat diantara orang yang shalat dengan sutrahnya, hendaknya kita mencari jalan di luar sutrah, atau lewat belakang orang yang shalat tersebut, atau mencari celah antara orang yang shalat, atau cara lain yang tidak melanggar larangan ini.

Shalat Tanpa Menggunakan Sutrah

Demikian juga terlarang lewat di depan orang yang sedang shalat walaupun ia tidak menghadap sutrah, orang yang melakukannya pun berdosa. Berdasarkan hadits dari Abu Juhaim Al Anshari, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)

Namun para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي (di depan orang yang shalat) yaitu berapa batasan jarak di depan orang shalat yang tidak dibolehkan lewat? Dalam hal ini banyak pendapat yang dinukil dari para ulama:
Tiga hasta dari kaki orang yang shalat
Sejauh lemparan batu, dengan lemparan yang biasa, tidak kencang ataupun lemah
Satu langkah dari tempat shalat
Kembali kepada ‘urf, yaitu tergantung pada anggapan orang-orang setempat. Jika sekian adalah jarak yang masih termasuk istilah ‘di hadapan orang shalat’, maka itulah jaraknya.
Antara kaki dan tempat sujud orang yang shalat

Yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah antara kaki dan tempat sujud orang yang shalat. Karena orang yang shalat tidak membutuhkan lebih dari jarak tersebut, maka ia tidak berhak untuk menghalangi orang yang lewat di luar jarak tadi (Syarhul Mumthi’, 3/246).

Dengan demikian jika ingin lewat di depan orang yang shalat yang tidak menggunakan sutrah hendaknya lewat diluar jarak sujudnya, dan ini hukumnya boleh.
Shalat Berjama’ah

telah dijelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa makmum dalam shalat jama’ah tidak disunnahkan untuk membuat sutrah. Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum. Namun apakah boleh seseorang lewat di depan para makmum? Atau bolehkah lewat diantara shaf shalat jama’ah? Dalam hal ini ada dua pendapat diantara para ulama :
Hukumnya tidak boleh, berdasarkan keumuman larangan dalam hadits Abu Juhaim. Selain itu gangguan yang ditimbulkan oleh orang yang lewat itu sama baik terhadap orang yang shalat sendiri maupun berjama’ah.
Hukumnya boleh berdasarkan perbuatan Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahihain, Ibnu Abbas berkata,

قْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ ، وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

“Aku datang dengan menunggang keledai betina. Ketika itu aku hampir menginjak masa baligh. Rasulullah sedang shalat di Mina dengan tidak menghadap ke dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf. Kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku itu” (HR. Al Bukhari 76, Muslim 504).
Perbuatan sahabat Nabi, jika diketahui Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan banyak sahabat namun tidak diingkari, maka itu adalah hujjah (dalil). Dan ini merupakan sunnah taqririyyah, sunnah yang berasal dari persetujuan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap sebuah perkataan atau perbuatan. Sehingga sunnah taqririyyah ini merupakan takhsis (pengkhususan) dari dalil umum hadits Abu Juhaim.

Yang shahih, boleh lewat di depan para makmum shalat jama’ah, yang melakukan hal ini tidak berdosa dengan dalil perbuatan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma. Namun andaikan bisa menghindari atau meminimalisir hal ini, itu lebih disukai. Karena sebagaimana jika kita shalat tentu kita tidak ingin mendapatkan gangguan sedikit pun, maka hendaknya kita pun berusaha tidak memberikan gangguan pada orang lain yang shalat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لا يؤمنُ أحدُكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه

“tidak beriman seseorang sampai ia menyukai sesuatu ada saudaranya sebagaimana ia menyukai sesuatu itu ada pada dirinya”

(lihat Syarhul Mumthi, 3/279).
Shalat Di Masjidil Haram Atau Tempat Yang Banyak Dilalui Orang

Apakah boleh lewat di depan orang yang shalat di Masjidil Haram? Sebagian ulama membolehkan secara mutlak karena darurat dikarenakan banyaknya dan merupakan tempat lalu lalangnya orang-orang dalam rangka thawaf dan lainnya. Syaikh Shalih Al Fauzan menyatakan: “demikian juga jika seseorang shalat di Masjidil Haram, maka tidak perlu menghadang orang yang lewat di depannya, karena terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mekkah, orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Khamsah” (Mulakhash Fiqhi, 145).

Sebagian lagi tetap melarang berdasarkan keumuman hadits Abu Juhaim. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Tidak ada perbedaan hukum lewat di depan orang shalat baik di Mekkah maupun di selain Mekkah. Inilah pendapat yang shahih. Tidak ada hujjah bagi yang mengecualikan larangan ini dengan hadits

أنه كان يُصلِّي والنَّاسُ يمرُّون بين يديه، وليس بينهما سُترة

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat (di Mekkah), orang-orang melewati beliau, ketika itu tidak ada sutrah dihadapan beliau”
karena dalam hadits ini tedapat perawi yang majhul. Adanya perawi majhul adalah kecacatan bagi hadits. Andaikan hadits ini shahih pun, maka kita bawa kepada kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di tempat orang ber-thawaf. Dan orang yang thawaf itu adalah orang-orang yang lebih berhak berada di tempat thawaf. Karena tidak ada tempat lain selain ini. Sedangkan orang yang shalat, dia bisa shalat di tempat lain. Adapun orang yang thawaf tidak memiliki tempat lain selain sekeliling Ka’bah, sehingga ia lebih berhak. Demikian andaikan haditsnya shahih. Oleh karena itu Imam Al Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya memberi judul bab “sutrah di Mekkah dan tempat lainnya”. Artinya, menurut beliau hukum sutrah di Mekkah dan tempat lain itu sama” (Syarhul Mumthi, 3/248). Dari penjelasan beliau ini juga dapat dipahami bahwa jika seseorang shalat di tempat melakukan thawaf maka boleh dilewati, karena orang yang thawaf lebih berhak untuk berada di tempat thawaf.

Yang paling bagus dalam masalah ini adalah rincian yang dipaparkan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah dan sebagian ulama Malikiyyah, yaitu sebagai berikut:
Jika orang yang shalat tidak bersengaja shalat di tempat orang-orang lewat, dan terdapat celah yang memungkinkan bagi orang yang lewat untuk tidak lewat di depan orang shalat, maka orang yang lewat tadi berdosa. Sedangkan yang shalat tidak berdosa.
Jika orang yang shalat sudah tahu dan sengaja shalat di tempat orang-orang biasa lewat, sedangkan tidak ada celah yang memungkinkan untuk lewat selain melewati orang shalat, maka dalam hal ini orang yang shalat berdosa. Adapun orang yang lewat tidak berdosa.
Jika orang yang shalat sudah tahu dan sengaja shalat di tempat orang-orang biasa lewat, dan ada celah yang memungkinkan untuk lewat, maka keduanya berdosa.
Jika orang yang shalat tidak bersengaja shalat di tempat orang-orang lewat dan tidak ada celah untuk lewat, maka boleh lewat dan keduanya tidak berdosa (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/185).

Perlu dicatat bahwa rincian ini berlaku dalam keadaan tempat shalat yang ramai orang berlalu-lalang dan banyak orang melakukan shalat semisal Masjidil Haram. Adapun di tempat biasa yang tidak terlalu banyak orang lalu-lalang, maka tidak ada alasan untuk melewati orang yang shalat walaupun andaikan tidak ada celah dan ia ada keperluan untuk melewatinya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara orang yang punya keperluan untuk lewat atau pun tidak punya keperluan. Karena ia tidak punya hak untuk lewat di depan orang yang shalat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat”

arba’in di sini artinya 40 tahun (Syarhul Mumthi’, 3/247). Maka yang patut dilakukan adalah menunggu orang yang shalat selesai. Ibnu Rajab mengomentari hadits ini: “ini adalah dalil bahwa berdirinya seseorang selama 40 tahun untuk menunggu adanya jalan agar bisa lewat, itu lebih baik daripada lewat di depan orang yang shalat jika ia tidak menemukan jalan lain” (Fathul Baari Libni Rajab, 4/80).
Apakah Shalat Menjadi Batal Dengan Adanya Sesuatu Yang Lewat?

Shalat bisa menjadi batal jika ia dilewati oleh wanita, atau keledai, atau anjing. Adapun jika yang lewat adalah selain tiga hal ini, maka tidak batal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

“Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” (HR. Muslim 511)

anjing yang dimaksud adalah anjing hitam sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:

إذا صلَّى الرَّجلُ وليسَ بينَ يدَيهِ كآخرةِ الرَّحلِ أو كواسطةِ الرَّحلِ قطعَ صلاتَه الكلبُ الأسودُ والمرأةُ والحمارُ

“Jika salah seorang dari kalian shalat, dan ia tidak menghadap sesuatu yang tingginya setinggi ujung pelana atau bagian tengah pelana, maka shalatnya bisa dibatalkan oleh anjing hitam, wanita, dan keledai” (HR. Tirmidzi).

Batalnya shalat dalam hal ini berlaku baik jika yang shalat memakai sutrah, lalu wanita, atau keledai, atau anjing lewat di antara ia dan sutrahnya, maupun tanpa sutrah namun mereka lewat di daerah sujud orang yang shalat. Namun tidak berlaku untuk makmum shalat jama’ah karena sutrah imam adalah sutrah bagi makmum, dan makmum tidak disyari’atkan untuk menahan orang yang lewat di depannya. Sehingga jika wanita, atau keledai, atau anjing lewat diantara shaf shalat jama’ah maka tidak membatalkan shalat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa secara mutlak shalat tidak bisa dibatalkan dengan lewatnya sesuatu, sedangkan hadits di atas maksudnya batal pahala atau kesempurnaan shalatnya. Tentu saja ini merupakan ta’wil yang tidak memiliki dasar. Dan petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sebaik-baik petunjuk.

Al Lajnah Ad Daimah menyatakan: “yang shahih, lewatnya hal-hal yang disebutkan itu di depan orang yang shalat atau antara ia dan sutrahnya itu membatalkan shalatnya. Karena terdapat hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl‘. Riwayat Imam Muslim. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat tidak bisa batal dengan hal-hal tersebut. Namun pahalanya berkurang karena berkurangnya seluruh kekhusyukannya atau sebagian kekhusyukannya. Namun yang nampaknya lebih tepat adalah apa yang terdapat dalam hadits, sedangkan pendapat yang kedua tadi merupakan ta’wil yang tidak didasari oleh dalil” (Fatawa Lajnah Daimah, no. 6990 juz 7 hal 82).

Tapi, jika wanita, anjing hitam atau keledai lewat di depan orang yang shalat, sedangkan orang yang shalat ini sudah mencari tempat yang aman dari orang yang lewat, sudah menghadap sutrah, atau ia pun sudah berusaha menghadang dan menahan yang lewat tadi dengan sungguh-sungguh namun tetap saja bisa lolos, maka shalat tidak batal. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan: “(jika wanita lewat) secara zhahir shalatnya batal, dan wajib diulang. Namun menurut saya, ada sesuatu yang kurang tepat dalam pendapat ini. Karena seorang yang melakukan shalat, ketika ia sudah melakukan apa saja yang diperintahkan oleh syari’at, lalu datang perkara yang bukan atas kehendaknya, dan ini pun bukan karena tafrith (lalai) ataupun tahawun (menyepelekan), bagaimana mungkin kita mengatakan ibadahnya batal karena sebab perbuatan pihak lain? Karena yang berdosa adalah yang lewat. Adapun jika hal itu terjadi karena menyepelekan atau lalai sebagaimana dilakukan kebanyakan orang, maka shalatnya batal tanpa keraguan” (Syarhul Mumthi’, 3/239). Inilah pendapat yang kami anggap sebagai pendapat yang lebih pertengahan dalam hal ini.

Mungkin ada yang bertanya, “bagaimana dengan wanita? apakah shalat seorang wanita batal jika dilewati wanita lain?”. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya pertanyaan serupa, beliau menjawab: “iya, batal. Karena tidak ada perbedaan hukum antara lelaki dan wanita kecuali ada dalil yang menyatakan berbeda hukumnya. Namun jika wanita tersebut lewat di luar sutrah jika ada sutrah, atau di luar sajadah jika shalatnya pakai sajadah, atau di luar area sujud jika tidak pakai sutrah dan sajadah, maka ini tidak mengapa dan tidak membatalkan” (Majmu’ Fatawa war Rasail Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, 13/318).

Hukum Menghalangi Orang Lewat

Disyariatkan bagi orang yang shalat untuk menahan atau menghalangi orang yang lewat di depannya. Baik ia memakai sutrah maupun tidak. Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:


إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509)

Sebagian ulama berdalil dengan mafhum hadits ini, bahwa yang disyariatkan untuk menahan orang yang lewat adalah jika shalatnya memakai sutrah. Pendapat ini tidak tepat karena dalam riwayat yang lain Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk menghalangi orang yang lewat secara mutlak.

إذا كان أحدُكم يصلِّى فلا يدعُ أحدًا يمرُّ بين يدَيه . وليدرَأْه ما استَطاع . فإن أبى فلْيقاتِلْه . فإنما هو شيطانٌ

“Jika seorang di antara kalian shalat, jangan biarkan seseorang lewat di depannya. Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia, karena sesungguhnya itu setan” (HR. Muslim 505. 506).

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menahan orang yang lewat ketika sedang shalat, apakah wajib atau tidak? Karena lafadz-lafadz hadits mengenai hal ini menggunakan lafadz perintah, yaitu فليدفَعْهُ (cegahlah) dan وليدرَأْه (tahanlah) atau semacamnya, maka pada asalnya menghasilkan hukum wajib. Ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Lebih diperkuat lagi wajibnya karena diperintahkan untuk memerangi orang yang enggan dicegah untuk lewat (lihat Syarhul Mumthi’, 3/244).

Sedangkan jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah karena sibuk menahan orang yang lewat dapat menghilangkan tujuan dari shalat yaitu khusyuk dan tadabbur. Selain itu juga adanya perbedaan hukum melewati orang yang shalat, sebagaimana telah dijelaskan, mengisyaratkan tidak wajibnya menahan orang yang lewat. Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/187) dan serta pendapat mu’tamad madzhab Hambali (Syarhul Mumthi’, 3/243).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memaparkan kompromi yang bagus antara yang mewajibkan secara mutlak dengan yang mensunnahkan secara mutlak: “Dapat kita bawa kepada kompromi berikut: perlu dibedakan antara lewat yang membatalkan shalat dengan yang tidak sampai membatalkan shalat. Jika lewatnya tersebut membuat shalat batal, maka wajib ditahan. Namun jika tidak sampai membatalkan shalat, maka tidak wajib (sunnah) untuk ditahan. Karena dalam kondisi ini, adanya yang lewat tersebut maksimal hanya membuat shalat kurang sempurna, tidak sampai membatalkan. Berbeda halnya jika adanya yang lewat tadi dapat membatalkan shalat. Lebih lagi jika shalatnya adalah shalat fardhu, jika anda membiarkan sesuatu lewat hingga membatalkan shalat anda sama saja anda sengaja membatalkan shalat. Dan hukum asal membatalkan shalat fardhu adalah haram” (Syarhul Mumthi’, 3/245).

Cara Menahan Orang Yang Lewat

Sebagaimana hadits yang telah disebutkan, disebutkan cara menahan orang yang lewat adalah

وليدرَأْه ما استَطاع . فإن أبى فلْيقاتِلْه

“Tahanlah ia sebisa mungkin. Jika ia enggan ditahan maka perangilah ia”

Maksudnya ketika lewat pertama kali, maka tahanlah dengan cara yang ringan namun cukup untuk menahannya. Jika ia berusaha untuk lewat kedua kalinya, maka tahanlah dengan lebih bersungguh-sungguh. Sebagaimana perbuatan seorang sahabat Nabi, Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:

بينما أنا مع أبي سعيدٍ يصلي يومَ الجمعةِ إلى شيءٍ يَستُرُه من الناسِ, إذ جاء رجلٌ شابٌ من بني أبي مُعْيطٍ, أراد أن يجتازَ بين يديه , فدَفَعَ في نحرِه , فنظر فلم يجد مساغًا إلا بين يديْ أبي سعيدٍ, فعاد فدَفَعَ في نحرِه أشدَّ من الدفعةِ الأولى , فمثلَ قائمًا, فنال من أبي سعيدٍ , ثم زاحم الناسَ ، فخرج فدخل على مرْوانَ , فشكا إليه ما لقي قال ودخل أبو سعيدٍ على مرْوانَ , فقال له مرْوانُ: ما لك ولابنِ أخيك ؟ جاء يشكوك , فقال أبو سعيدٍ: سمعتُ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقولُ : إذا صلى أحدُكم إلى شيءٍ يَستُرُه من الناسِ، فأراد أحدٌ أن يجتازَ بين يديه, فلْيدْفعْ في نحرِه, فإن أبى فليقاتِلْه , فإنما هو شيطانٌ

“aku (Abu Shalih; perawi hadits) ketika itu bersama yang Abu Sa’id sedang shalat pada hari Jum’at dengan menghadap sutrah. Kemudian datang seorang pemuda dari Bani Abi Mu’yath hendak lewat di depan beliau. Kemudian beliau pun menahannya di lehernya. Lalu pemuda itu melihat-lihat sekeliling, namun ia tidak melihat celah lain selain melewati Abu Sa’id. Sehingga pemuda itu pun berusaha lewat lagi untuk kedua kalinya. Abu Sa’id lalu menahannya lagi pada lehernya namun lebih sungguh-sungguh dari yang pertama. Akhirnya pemuda itu berdiri sambil mencela Abu Said. Setelah itu dia memilih untuk membelah kerumunan manusia. Pemuda tadi pergi ke rumah Marwan (gubernur Madinah saat itu). Ia menyampaikan keluhannya kepada Marwan. Lalu Abu Sa’id pun datang kepada Marwan. Lalu Abu Sa’id pun datang kepada Marwan. Marwan bertanya kepadanya: ‘Apa yang telah kau lakukan kepada anak saudaramu sampai-sampai ia datang mengeluh padaku?’ Lalu Abu Sa’id berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah di lehernya. jika ia enggan dicegah maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan’” (HR. Muslim 505)

dalam riwayat lain:

عن أبي سعيد، أنه كان يصلي ومر بين يديه ابن لمروان، فضربه، فقال مروان: ضربت ابن أخيك؟ فقال: ما ضربت إلا شيطانا

“dari Abu Sa’id, ia pernah shalat lalu anaknya Marwan lewat di depannya, ia pun memukulnya. Marwan setelah kejadian itu bertanya kepada Abu Sa’id: ‘Apakah engkau memukul anak saudaramu?’. Abu Sa’id berkata: ‘Tidak, aku tidak memukulnya. Yang aku pukul adalah setan’”.

Ishaq bin Ibrahim pernah melihat Imam Ahmad shalat, ketika ada yang hendak lewat di depannya, beliau menahannya dengan lembut. Namun ketika orang itu mencoba lewat lagi, Imam Ahmad menahannya dengan keras (Fathul Baari Libni Rajab, 4/83).

Ibnu ‘Abdil Barr menjelaskan makna فليقاتِلْه (perangilah ia) beliau berkata”maksudnya adalah menahan. Dan menurutku makna perkataan ini bukanlah melakukan kekerasan, karena segala sesuatu itu ada batasnya”. Beliau juga berkata: “para ulama bersepakat maksudnya memerangi di sini bukanlah memerangi dengan pedang (senjata), dan tanpa menoleh, dan tidak sampai pada kadar yang membuat shalatnya batal” (Fathul Baari Libni Rajab, 4/84).

Para ulama juga bersepakat bahwa hendaknya cara yang digunakan untuk menahan orang yang shalat itu bertahap, dimulai dari yang paling ringan dan lembuat setelah itu jika berusaha lewat lagi maka mulai agak keras dan seterusnya (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/187).

Adapun mengenai makna فإنما هو شيطانٌ (sesungguhnya orang yang lewat di depan orang shalat adalah setan), ada dua tafsiran dari para ulama:
Orang tersebut disertai dan ditemani setan yang setan ini memerintahkan dia untuk melewati orang shalat. Ini pendapat yang dikuatkan Abu Hatim. Sebagaimana dalam sebagian riwayat dikatakan:

فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

“karena bersamanya ada qarin (setan)”
Perbuatan melewati orang shalat adalah perbuatan setan, sehingga orang ini adalah setan berbentuk manusia. Ini adalah pendapat Al Jurjani. (lihat Fathul Baari Libni Rajab, 4/88)

Demikian risalah singkat mengenai sutrah shalat. Semoga dengan mengetahui fiqih mengenai sutrah, kaum Muslimin dapat lebih menjaga dan meningkatkan kualitas shalatnya, sehingga shalat tidak hanya sekedar gerakan bungkuk-berdiri. Melainkan sebuah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menggapai ridha-Nya. Wallahu waliyyut taufiq.



Penulis: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.Sos., M.Pi.

Copyright @ 2013 ilmu tentang islam.